![]() | |
Prof Dr Hibnu Nughroho |
Yagobing :
Bagi sebagian kelompok, hukuman mati --apalagi dengan cara digantung--
dinilai sebagai hukuman yang tidak beradab dan melanggar HAM. Tapi di
Singapura, negeri yang sangat maju dan ultra modern, hukuman yang
katanya tak beradab itu masih dilaksanakan.
Sebagaimana diberitakan kantor berita AFP, Singapura menggantung mati WN
Nigeria Chijioke Stephen Obioha (38) dan WN Malaysia, Devendran
Supramaniam (31) pada Jumat (18/11) kemarin. Chijioke dihukum hanya
karena memiliki 2,6 kg ganja dan Devendran memiliki 86 gram heroin.
Pada tahun 2015, otoritas Singapura juga mengeksekusi mati empat orang
yaitu untuk satu kasus pembunuhan dan tiga terpidana mati lainnya atas
kasus penyalahgunaan narkoba.
"Di Singapura dan Malaysia, hukuman narkotika adalah dihukum gantung,
dan tegas," kata ahli pidana Prof Dr Hibnu Nugroho saat dihubungi
detikcom, Minggu (20/11/2016).
Ketegasan Singapura di kasus narkoba harus dicontoh Indonesia. Dengan
hukuman yang tegas dan terus menerus, maka kewibawaan hukum sebuah
negara akan pulih sehingga orang tak lagi-lagi bermain dengan hukum,
terutama jual beli narkoba.
"Makanya tidak heran kalau perdagangan narkoba pindah ke Indonesia
karena hukum di Indonesia tidak tegas," cetus guru besar Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu.
Di Indonesia, teknis hukuman mati tertuang dalam Pasal 11 KUHP yang berbunyi:
Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Tapi Pasal 11 KUHP itu diubah oleh UU Nomor 2/PNPS/1964. Dalam Pasal 10 ayat 1 berbunyi:
Kepala polisi daerah membentuk suatu regu penembak dari Brigade
Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang tamtama, dibawah
pimpinan seorang perwira.
Sebelumnya, Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyebutkan bahwa bahaya
narkoba sudah menjadi ancaman pertahanan nasional. Gatot mencontohkan
Perang Candu di Tiongkok Vs Inggris serta Perancis. Dalam perang itu,
Tiongkok kalah.
"Rakyat serta tentaranya terkena candu, pada akhirnya kalah. Mesti menggadaikan Hongkong serta Taiwan, " tutur Gatot.
Soal ancaman narkoba sebagai ancaman pertahanan nasional juga diakui
oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta saat mengadili WN Nigeria Emeka
Samuel (31) karena mengedarkan 37 kg sabu. PT Jakarta menyitir sejarah
negara Cina yang besar pernah ditaklukkan oleh Inggris, setelah terlebih
dahulu di seluruh Negara Cina beredar bebas candu (salah satu jenis
Narkotika). Rakyat Cina, pegawai serta tentaranya dan penyelenggara
negaranya menjadi pengguna candu tersebut.
"Akibatnya Negara Cina yang besar itu menjadi lemah tidak berdaya karena
dirusak narkotika, sehingga dalam kondisi yang demikian Negara Cina
tersebut dengan mudah ditaklukkan oleh Inggris, dan karena negara Cina
takluk maka untuk mengakhiri perang ini yang dulu disebut Perang Candu
tahun 1839 sampai dengan tahun 1842 diadakanlah Perjanjian Nanjing, maka
Hong Kong satu pulau bagian dari Cina diserahkan ke Inggris dan menjadi
bagian dari Inggris selama 100 tahun," papar majelis yang terdiri dari
Imam Sungudi dengan anggota Elnawisah dan Humuntal Pane.
Nah, Bagaimana dengan Indonesia? Masyarakat belum lupa bagaimana drama
hukum dimainkan di Pulau Nusakambangan pertengahan tahun ini. Yaitu
sebanyak 14 orang terpidana mati telah dimasukkan ke dalam ruang
isolasi, tetapi tiba-tiba di menit-menit terakhir, hanya 4 orang yang
dieksekusi mati dan 10 sisanya masih tetap hidup hingga saat ini.
Bila Singapura yang sangat maju dan modern saja masih tegas terhadap
gembong narkoba dengan cara menggantung, masihkah kita berdebat bahwa
hukuman mati itu melanggar HAM dan tidak beradab?
Dikutip dari : news.detik.com
0 Comments