Ilustrasi |
Yagobing - Pada bulan November ini, ada dua peristiwa penting yang melibatkan
ratusan ribu orang di Jakarta. Pertama pada Jumat (4/11) dan kedua pada
Sabtu (19/11). Peristiwa pertama mengangkat isu tentang pentingnya
pemurnian agama dan peristiwa kedua mengenai pentingnya keberagaman.
Di balik peristiwa itu, isu-isu tentang politik uang, auktor
intelektualis, desain pengerahan massa, hingga konteks pemilihan kepala
daerah merupakan faktor-faktor yang tidak bisa dilepaskan dalam
perbincangan publik. Namun, adalah fakta bahwa dua hal itu memberikan
sketsa tentang praktik berbangsa kita hari ini.
Artinya secara sederhana bisa dipertanyakan, apa untungnya bagi kita?
Lebih tepatnya, apa efek dari partisipasi masyarakat bagi pemahaman
publik ke depan?
Manusia ketiga
Jika pemahaman adalah realitas yang tersusun dari proses penafsiran
atas fakta-fakta, pemahaman publik sebetulnya menuntut keruntutan
realitas sosial yang bisa diterima secara luas. Maksudnya, apa yang bisa
saya terima bukanlah apa saja yang menurut saya logis, melainkan juga
apakah saya percaya atau tidak. Sebab, jika penjelasan luaran didasarkan
pada hubungan-hubungan logis-rasional, penjelasan dalaman membutuhkan
pemahaman tentang makna simbolik-intuitif. Itulah kenapa fakta-fakta
yang sama bisa saja menghasilkan nalar dan keyakinan yang berbeda.
Jika dihadapkan pada pemahaman logis-formal, peristiwa tersebut
persis dengan teori yang pernah dijelaskan oleh Ernest Gellner dalam
Postmodernism, Reason and Religion (1992). Dia menyebut dengan istilah
fundamentalisme religius dan fundamentalisme rasional.
Ketika masyarakat mengalami masalah tersebut, dia kemudian
mengusulkan agar melahirkan ”manusia ketiga”. Inimanusia yang mampu
mengembangkan komunikasi secara baik untuk setiap pihak sehingga
menemukan ruang dialog untuk berkompromi (1992:96). Katanya, hasil
kompromi haruslah berupa kesepakatan untuk meningkatkan pelayanan
publik.
Solusi tersebut ternyata menemui kesulitan karena tidak ada jaminan
bahwa ruang dialog tersebut bersih dari kekuasaan dan kepentingan. Di
sisi lain, penyerahan masalah kepada institusi publik yang berwenang
hanya akan menghasilkan ”permainan baru” dalam upaya penyelesaian
masalah.
Sebagai bukti, hasil dari demonstrasi yang melibatkan ratusan ribu orang pada 4 November adalah penetapan status tersangka atas Basuki Tjahaja Purnama,
Rabu (16/11/2016). Kendati demikian, penetapan itu dikatakan oleh
pemerintah bukan sebagai ”keputusan yang mudah” karena terjadi
perdebatan antara penyelidik, saksi ahli, dan sejumlah ahli bahasa.
Pemberi harapan
Berdasarkan kenyataan tersebut, pemahaman logis-formal hanya akan
sampai pada permainan logika bahasa. Jika direfleksikan pada realitas
yang simbolik-tepercaya, kita membutuhkan pemahaman ideologis yang
diyakini sebagai jalan mewujudkan cita- cita bersama. Ada empat fakta
sosial ketika pemahaman logis-formal menjadi kesalahpahaman ideologis.
Pertama, keputusan pemerintah mengandung sejumlah kesalahpahaman
memaknai praktik berbangsa yang partisipatif. Aparat terkesan ”meredam
permasalahan” agar peristiwa satu hari tidak menimbulkan anomi di tengah
masyarakat selama berhari-hari. Hal itu sekurang-kurangnya dapat
dilihat dari lama waktu antara penetapan tersangka (16/11/2016),
demonstrasi (4/11/2016), dan peristiwa di tempat kejadian perkara
(29/9/2016).
Kedua, pemerintah melupakan konsep dasar berbangsa sebagaimana
termaktub dalam tujuan pembentukan negara ini, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa. Negeri ini tidak terombang-ambing antara Pancasila
dan agama jika pemahaman kebangsaan kita didasari kemampuan memperbaiki
diri secara terbuka. Ketika sikap cerdas adalah kemampuan untuk
belajar, kehidupan bangsa yang cerdas adalah kehidupan yang bersedia
memperbaiki diri secara berkesinambungan, memaafkan, dan mengakui
kesalahan.
Ketiga, fakta kedua terjadi karena pemerintah tidak pernah memiliki
desain kurikulum ”mencerdaskan kehidupan bangsa” yang dapat diandalkan.
Persoalannya, pembelajaran kehidupan bangsa dengan begitu bukanlah
semata-mata mata pelajaran ideologis. Pendidikan kewarganegaraan
memerlukan sinergi yang efisien dengan mata pelajaran lain, seperti
agama dan ilmu-ilmu sosial.
Pembiasaan
Jika merujuk pada rencana pembelajaran, salah satu keluaran dari
pendidikan kewarganegaraan di sekolah adalah pembiasaan kehidupan yang
sesuai dengan asas-asas ideologi bangsa. Pembiasaan memerlukan situasi,
motivasi, dan keyakinan peserta didik. Karena itu, pendidikan tersebut
jelas membutuhkan daya dukung dari disiplin ilmu lain sehingga
memperoleh legitimasi yang cukup.
Keempat, pemerintah tidak memiliki media yang efektif dalam
pembelajaran menuju kehidupan bangsa yang cerdas. Sebagaimana dimaktub
dalam tujuan pendidikan nasional, keluaran dari pembelajaran terhadap
anak bangsa adalah sebuah perikehidupan yang dilandasi oleh rasio dan
religi demi mewujudkan cita- cita bersama. Hasil itu diejawantahkan
dalam desain pembelajaran yang dikenal dengan istilah standar isi,
standar proses, dan standar keluaran. Karena itu, tidak sulit menyatakan
bahwa menghasilkan kehidupan bangsa yang cerdas berbanding lurus dengan
desain pembelajaranyang tepat.
Berdasarkan perspektif itu, fenomena sosial di tengah-tengah
masyarakat jelaslah merupakan satu media pembelajaran yang dapat
digunakan pemerintah sebagai model praktik berbangsa ke depan. Segala
daya upaya dapat diarahkan untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendeknya, kehidupan bangsa adalah sebuah iklim,
situasi sosial, pola pikir, atau sikap bersama.
Dengan kata lain, sikap bersama yang terbuka, toleran sekaligus
religius adalah hasil final dari praktik nyata pembelajaran kehidupan
bangsa yang cerdas Ketika mekanisme dialog macet dan penegakan hukum
berakhir pada permainan, sebetulnya pemerintah tidak cerdas dan publik
tidak pernah diuntungkan.
SAIFUR ROHMAN, PENGAJAR PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Agama dan Pancasila".
Dikutip dari : kompas.com
0 Comments