![]() |
Sudarnoto Abdul Hakim |
Yagobing - Dalam waktu yang panjang di era penjajahan, masyarakat Nusantara
melawan dengan susah payah. Bagi muslim melawan ketidak adilan,
kezaliman, keangkuhan, otoritarian tidak saja merupakan panggilan
keagamaan yang memang tertuang di dalam Kitab Suci, akan tetapi juga
tugas mulia kemanusiaan, sosial dan kebangsaan.
Arahnya jelas, membangun kemaslahatan bersama (Maslahah Ammah), bukan kemaslahatan sekelompok orang. Mayoritas muslim tidak pernah mempersoalkan kehadiran minoritas untuk secara bersama-sama memainkan peran sosial, keagamaan dan kebangsaan mereka karena memang itulah yang juga menjadi tugas mereka.
Kemerdekaan yang diraih, keberhasilan membentuk negara sendiri yang berdaulat NKRI adalah hasil kongkrit perjuangan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Di era pergerakan (the age of motion, seperti yang dikatakan oleh Takashi Shiraishi) dan bahkan hingga hari ini toleransi, solidaritas, kebersamaan di tengah-tengah perbedaan dibangun dengan sangat baik oleh umat Islam.
Islam menjadi integrating factor dalam membangun dan memperkokoh nasionalisme. Islam dan umat Islam tidak sekedar merawat dan menjaga akan tetapi mempersubur dan memperkokoh kemajemukan, ajaran tentang toleransi (Tasamuh) benar-benar dibuktikan dalam praktek kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.
Itulah mengapa Muhammadiyah, misalnya, telah sampai pada pandangan bahwa Indonesia adalah Darul Ahdi, negeri perjanjian atau kesepakatan. Semua elemen bangsa berkomitmen memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan, negara sendiri yang berdaulat NKRI dengan Pancasila sebagai falsafah.
Arahnya jelas, membangun kemaslahatan bersama (Maslahah Ammah), bukan kemaslahatan sekelompok orang. Mayoritas muslim tidak pernah mempersoalkan kehadiran minoritas untuk secara bersama-sama memainkan peran sosial, keagamaan dan kebangsaan mereka karena memang itulah yang juga menjadi tugas mereka.
Kemerdekaan yang diraih, keberhasilan membentuk negara sendiri yang berdaulat NKRI adalah hasil kongkrit perjuangan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Di era pergerakan (the age of motion, seperti yang dikatakan oleh Takashi Shiraishi) dan bahkan hingga hari ini toleransi, solidaritas, kebersamaan di tengah-tengah perbedaan dibangun dengan sangat baik oleh umat Islam.
Islam menjadi integrating factor dalam membangun dan memperkokoh nasionalisme. Islam dan umat Islam tidak sekedar merawat dan menjaga akan tetapi mempersubur dan memperkokoh kemajemukan, ajaran tentang toleransi (Tasamuh) benar-benar dibuktikan dalam praktek kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.
Itulah mengapa Muhammadiyah, misalnya, telah sampai pada pandangan bahwa Indonesia adalah Darul Ahdi, negeri perjanjian atau kesepakatan. Semua elemen bangsa berkomitmen memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan, negara sendiri yang berdaulat NKRI dengan Pancasila sebagai falsafah.
Indonesia adalah negeri dan bangsanya umat Islam sekaligus negeri dan
bangsanya non-muslim. Apapun kesulitan yang dihadapi dan besarnya
pengorbanan umat Islam serta bagaimanapun kerasnya perdebatan yang
muncul dan melibatkan kekuatan arus ideologi dan agama selama melakukan
persiapan kemerdekaan, umat Islam tetap berkeyakinan teguh bahwa apa
yang mereka lakukan sepanjang sejarahnya adalah untuk Indonesia yang
berdaulat dan berkeadaban.
Kehadiran dan kontribusi Ki Bagus Hadikusumo dan tokoh atau pemimpin umat Islam yang lain tidak bisa dipungkiri. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia yang baru satu hari memperoleh kemerdekaannya seandainya Ki Bagus menolak pencoretan Corpus Islamicum dalam Piagam Jakarta. Momen yang sangat menentukan untuk keberlanjutan NKRI berada di tangan Ki Bagus dan dengan demikian tidak bisa disangkal besarnya peran umat Islam melalui para tokohnya untuk merampungkan persoalan-persoalan fundamental negara dan bangsa Indonesia.
Kehadiran dan kontribusi Ki Bagus Hadikusumo dan tokoh atau pemimpin umat Islam yang lain tidak bisa dipungkiri. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia yang baru satu hari memperoleh kemerdekaannya seandainya Ki Bagus menolak pencoretan Corpus Islamicum dalam Piagam Jakarta. Momen yang sangat menentukan untuk keberlanjutan NKRI berada di tangan Ki Bagus dan dengan demikian tidak bisa disangkal besarnya peran umat Islam melalui para tokohnya untuk merampungkan persoalan-persoalan fundamental negara dan bangsa Indonesia.
Bukan Nasionalisme Chauvinistik
Islam dan umat Islam merupakan kekuatan utama sejak awal kehadirannya di Nusantara dalam pembentukan negara dan bangsa Indonesia. Nasionalisme yang dibangun dan ditumbuh kembangkan bukanlah nasionalisme sempit (narrow nationalism) yang hanya diperuntukkan bagi kelompok tertentu saja. Narrow nationalism atau chauvinistic nationalism ini diyakini tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Prinsip-prinsip kesamaan, kesederajatan, penghargaan dan respek terhadap segala perbedaan, termasuk perbedaan agama dan etnis, sangatlah kompatibel dan memberikan manfaat besar bagi nasionisme ini.
Nasionalisme chauvinistik ini justru tidak akan produktif dan bahkan destruktif karena praktek diskriminasi atas nama apapun, nepotisme dan ketidakadilan, otoritarianisme, korupsi memperoleh momentumnya. Puncak kesadaranan nasionalisme chauvinistik ini terletak pada sikap dan pandangannya yang berlebihan terhadap kelompok dan kepentingannya; sementara nasionalisme yang sehat didedikasikan kepada kemaslahatan umum.
Oleh karena itu negara dan pemerintah berkewajiban melindungi
kepentingan bangsa. Komitmen ini sungguh sangat penting sehingga semua
kalangan memiliki keyakinan bahwa pemerintah bersikap adil, tidak
menjadi sumber masalah, tidak dibajak oleh kelompok yang justru sangat
bernafsu mengeruk kekayaan bangsa.
Pada saat kecenderungan dan prilaku koruptif muncul, pada saat ketidakadilan dipertontonkan secara kasat mata oleh segelintir kelompok kepentingan, pada saat dehumanisasi terjadi secara sistimatik dan ketika hukum tumpul tidak berkeadilan dalam waktu yang panjang, maka gerakan kekuatan civil society Islam (yang selama ini menjadi semacam silent majority) untuk mengingatkan bahaya penyelewengan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berada di lingkaran kekuasaan ini merupakan tindakan mulia dan semestinya disambut dengan hangat. Kehawatiran yang berlebihan dan apalagi bersikap paranoid terhadap mayoritas justru tidak akan produktif dan menyehatkan untuk kepentingan bangsa.
Memandang mayoritas muslim dengan penuh hawatir dan curiga adalah kesalahan mendasar, gagal memahami ketulusan umat saat mereka mau menyampaikan masukan sebagai ekspresi kecintaan mereka kepada bangsa. Menyebut muslim mayoritas sebagai perusak kebhinekaan dan intolerans adalah pandangan yang tidak bertanggung jawab. Jika berkeinginan untuk menatap dan membangun Indonesia ke depan yang menjanjikan, berkeadaban dan kompetitif, maka harus ada keseriusan untuk membaca, memahami dan menempatkan mayoritas muslim secara lebih bening dan jernih.
Pada saat kecenderungan dan prilaku koruptif muncul, pada saat ketidakadilan dipertontonkan secara kasat mata oleh segelintir kelompok kepentingan, pada saat dehumanisasi terjadi secara sistimatik dan ketika hukum tumpul tidak berkeadilan dalam waktu yang panjang, maka gerakan kekuatan civil society Islam (yang selama ini menjadi semacam silent majority) untuk mengingatkan bahaya penyelewengan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berada di lingkaran kekuasaan ini merupakan tindakan mulia dan semestinya disambut dengan hangat. Kehawatiran yang berlebihan dan apalagi bersikap paranoid terhadap mayoritas justru tidak akan produktif dan menyehatkan untuk kepentingan bangsa.
Memandang mayoritas muslim dengan penuh hawatir dan curiga adalah kesalahan mendasar, gagal memahami ketulusan umat saat mereka mau menyampaikan masukan sebagai ekspresi kecintaan mereka kepada bangsa. Menyebut muslim mayoritas sebagai perusak kebhinekaan dan intolerans adalah pandangan yang tidak bertanggung jawab. Jika berkeinginan untuk menatap dan membangun Indonesia ke depan yang menjanjikan, berkeadaban dan kompetitif, maka harus ada keseriusan untuk membaca, memahami dan menempatkan mayoritas muslim secara lebih bening dan jernih.
Dikutip dari : republika.co.id
0 Comments