4 Alasan Kenapa UN Pantas Untuk Dihapus

Di Era Menteri Pendidikan Nasional, M. Nuh, UN tetap dipertahankan sebagai penentu kelulusan, namun nilai akhir sebagai penentu kelulusan digabung dengan nilai rapor dan nilai Ujian Sekolah (US). Di era Anies Baswedan, UN tidak dijadikan penentu kelulusan, namun masih dipakai sebagai alat seleksi untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di era Mendikbud Muhajir, UN akan di Moratorium, namun moratorium itu tentu tidak serta disetujui oleh pemerintah (presiden). Presdien akan melakukan rapat terbatas tentang masalah ini.

   
Moch. Fatkoer Rohman, selaku guru Matematika SMAN 1 Tanjung Lombok Utara yang selama ini mengamati penyelenggaraan UN, menyatakan sikap setuju dengan Moratorium UN tersebut, dengan alasan sebagai berikut :

1.  Pemerintah tidak berhasil menghilangkan kecurangan dalam penyelenggaraan UN

Sebelum UN ada ujian sejenis yang disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada pelaksanaan EBTANAS ini hampir tidak kita temui kecurangan-kecurangan, namun ketika EBTANAS berubah jadi UN dan sebagai penentu kelulusan, banyak terjadi kecurangan. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan tapi tetap saja kecurangan itu terjadi. Usaha-usaha itu diantaranya adalah jumlah paket soal semula 1 jadi 2, jadi 5 bahkan jadi 20 lebih. Soal disimpan di kantor polisi dengan pengawalan yang ketat. Guru yang mengajar pada Mapel yang diujikan tidak boleh mengawas. Pengawas harus menandatangani pakta integritas. Usaha yang paling fenomenal adalah adanya IIUN (Indeks Integritas UN). UN yang sifatnya sebagai alat dan terbukti alat itu mengakibatkan kecurangan, lantas apakah alat itu pantas untuk dipertahankan ? Kecurangan itu tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter yang selama ini kita dengung-dengungkan. 


Sebelum UN, ada ujian sejenis yang disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada pelaksaan EBTANAS ini hampir tidak kita temui kecurangan-kecurangan, namun ketika EBTANAS berubah jadi UN dan sebagai penentu lulusan, banyak terjadi kecurangan. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan namun tetap saja kecurangan itu terjadi. Usaha-usaha itu di antaranya adalah jumlah paket soal semula 1 jadi 2, jadi 5 bahkan jadi 20 lebih. Soal disimpan di kantor polisi dengan pengawalan yang ketat. Guru yang mengajar pada mapel diujikan tidak boleh mengawas. Pengawas harus menandatangani pakta integritas. Usaha yang paling fenomenal adalah adanya IIUN (Indeks Integritas UN). UN yang sifatnya sebagai alat dan terbukti alat itu mengakibatkan kecurangan, lantas apakah alat itu perlu dipertahankan? Kecurangan ini tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fatkoer/bagaimana-jadinya-sekolah-tanpa-ujian-nasional_583e183287afbdc1042a569a
Sebelum UN, ada ujian sejenis yang disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada pelaksaan EBTANAS ini hampir tidak kita temui kecurangan-kecurangan, namun ketika EBTANAS berubah jadi UN dan sebagai penentu lulusan, banyak terjadi kecurangan. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan namun tetap saja kecurangan itu terjadi. Usaha-usaha itu di antaranya adalah jumlah paket soal semula 1 jadi 2, jadi 5 bahkan jadi 20 lebih. Soal disimpan di kantor polisi dengan pengawalan yang ketat. Guru yang mengajar pada mapel diujikan tidak boleh mengawas. Pengawas harus menandatangani pakta integritas. Usaha yang paling fenomenal adalah adanya IIUN (Indeks Integritas UN). UN yang sifatnya sebagai alat dan terbukti alat itu mengakibatkan kecurangan, lantas apakah alat itu perlu dipertahankan? Kecurangan ini tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fatkoer/bagaimana-jadinya-sekolah-tanpa-ujian-nasional_583e183287afbdc1042a569a
Sebelum UN, ada ujian sejenis yang disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada pelaksaan EBTANAS ini hampir tidak kita temui kecurangan-kecurangan, namun ketika EBTANAS berubah jadi UN dan sebagai penentu lulusan, banyak terjadi kecurangan. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan namun tetap saja kecurangan itu terjadi. Usaha-usaha itu di antaranya adalah jumlah paket soal semula 1 jadi 2, jadi 5 bahkan jadi 20 lebih. Soal disimpan di kantor polisi dengan pengawalan yang ketat. Guru yang mengajar pada mapel diujikan tidak boleh mengawas. Pengawas harus menandatangani pakta integritas. Usaha yang paling fenomenal adalah adanya IIUN (Indeks Integritas UN). UN yang sifatnya sebagai alat dan terbukti alat itu mengakibatkan kecurangan, lantas apakah alat itu perlu dipertahankan? Kecurangan ini tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fatkoer/bagaimana-jadinya-sekolah-tanpa-ujian-nasional_583e183287afbdc1042a569a
yang disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada pelaksaan EBTANAS ini hampir tidak kita temui kecurangan-kecurangan, namun ketika EBTANAS berubah jadi UN dan sebagai penentu lulusan, banyak terjadi kecurangan. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan namun tetap saja kecurangan itu terjadi. Usaha-usaha itu di antaranya adalah jumlah paket soal semula 1 jadi 2, jadi 5 bahkan jadi 20 lebih. Soal disimpan di kantor polisi dengan pengawalan yang ketat. Guru yang mengajar pada mapel diujikan tidak boleh mengawas. Pengawas harus menandatangani pakta integritas. Usaha yang paling fenomenal adalah adanya IIUN (Indeks Integritas UN). UN yang sifatnya sebagai alat dan terbukti alat itu mengakibatkan kecurangan, lantas apakah alat itu perlu dipertahankan? Kecurangan ini tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter yang selama ini kita dengung-dengungkan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fatkoer/bagaimana-jadinya-sekolah-tanpa-ujian-nasional_583e183287afbdc1042a569a
 2.  Efektifitas tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan

UN menelan biaya sekitar 500 miliar, anggaran yang sangat besar. Namun hasil UN belum dapat mencerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya. UN sebagai pemetaan, apakah sudah ditindaklanjuti ? ketika sudah ditindaklanjuti apakah serius ? Ini yang masih menjadi pertanyaan kita. Anggaran yang begitu besar lebih baik digunakan untuk sektor pendidikan yang lain. 

3.  Terjadi dikotomi mata pelajaran UN dan Non UN

Semenjak siswa duduk dibangku sekolah, sebenarnya siswa sudah dicekoki ada dikotomi mata pelajaran UN dan Non UN, mata pelajaran penting dan kurang penting. Ini fakta, siswa dan guru lebih mementingkan mata pelajaran UN dan Non UN. Apalagi ketika siswa sudah menduduki kelas akhir, yaitu kelas VI, IX dan XII, banyak diselenggarakan program-program yang sejatinya mementingkan mata pelajaran UN, misal jam tambahan di sore hari, Uji Coba UN, bahkan ada sekolah yang hanya mengajarkan mata pelajaran UN di kelas akhir. Lantas bagaimana dengan mata pelajaran yang non UN, bagaimana dengan pelajaran pendidikan agama dan PPKn, mata pelajaran yang isinya tentang sikap baik sikap spiritual maupun sosial ?

Kita sepakat bahwa ada 3 ranah yang perlu dibangun, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Tujuan Pendidikan Nasional pun juga meliputi 3 ranah itu. Artinya, semua mata pelajaran itu penting, tidak boleh ada dikotomi mata pelajaran UN dan Non UN, tidak boleh ada pembedaan mata pelajaran penting dan yang kurang penting.

4.  UN menjadikan kita mementingkan hasil daripada proses

Sudah bukan rahasia lagi, ketika kelas akhir siswa dilatih untuk menjawab soal-soal UN, bagaimana menjawab dengan cara tepat yang tidak mengindahkan proses. Padahal UN adalah sebagian dari kegiatan pembelajaran. Masih banyak kegiatan pembelajaran yang juga penting. Namun UN ini seakan-akan jadi benalu. Perhatian pemangku pendidikan tercurah ke UN. Perhatikan ketika UN diselenggarakan, ada kunjungan pejabat, terutama di sekolah-sekolah favorit. Hal ini mencerminkan seolah-olah UN ini merupakan perhelatan akbar dan seolah-olah kegiatan yang lain tidak penting. 

Moratorium UN tentu juga menuai pro dan kontra. Ada yang setuju namun ada pula yang tidak setuju. Setelah UN dihentikan apakah sistem pendidikan juga akan semakin lebih baik ? Biarkan waktu dan kebijakan-kebijakan selanjutnya yang akan menjawab.           

 

Post a Comment

0 Comments