![]() |
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian |
Yagobing (Kasus) :
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku
sempat dilema saat pertama kali mendapat laporan soal dugaan penistaan
agama Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Rasa dilema itu terkait dengan adanya
aturan internal Polri yang mengatur kasus-kasus terkait calon kepala
daerah, dilakukan setelah Pilkada selesai. Namun disisi lain, dugaan
penistaan agama yang dilakukan Ahok menjadi sorotan publik.
"Saya dilematis, mau diapain, ikut aturan
atau gulirkan kasus," kata Tito di acara Tabligh Akbar di kawasan
Kwitang, Jakarta Pusat, Minggu, 20 November 2016.
Tito pun mengaku sempat berdiskusi dengan
jajarannya terlebih dahulu dalam menentukan langkah selanjutnya. Pada
akhirnya, dia pun memutuskan agar kasus ini digulirkan, lantaran terkait
isu yang sensitif.
Jenderal bintang empat itu pun mengklaim
tak berkonsultasi dulu dengan Presiden Joko Widodo sebagai atasannya,
saat memutuskan kasus dinaikkan ke tahap penyidikan dan menetapkan Ahok
sebagai tersangka.
"Saya ambil keputusan tanpa konsultasi pada
siapapun, tanpa konsultasi dengan pimpinan, kepala negara, demi Allah,
saya katakan laksanakan penyelidikan," tegas Tito.
Kendati demikian, dia pun tidak menampik
jika keputusannya yang mengabaikan peraturan Polri itu bukan tanpa
risiko. Lantaran mau tidak mau, jika ada laporan terkait calon kepala
daerah lain, maka Polri menindaklanjutinya.
"Itu risiko yang harus saya ambil," kata Tito.
Tito sebelumnya menyadari, dengan menetapan
Ahok sebagai tersangka dan melanjutkan prosesnya ke penyidikan, membuat
dia harus 'melanggar' Surat Telegram Rahasia (STR) Kapolri terdahulu,
yakni STR Nomor 498 Oktober 2015 tentang penundaan penyidikan kasus jika
melibatkan pasangan calon yang akan mendaftar atau sudah ditetapkan
sebagai calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah.
Telegram Rahasia yang diteken Kapolri
sebelumnya, Jenderal Badrodin Haiti itu berisi perintah penundaan proses
penyidikan terhadap kasus-kasus pidana yang melibatkan pasangan calon
peserta pilkada, sampai proses pilkada selesai.
Menurut Tito, STR ini diterbitkan agar
Polri tidak digunakan sebagai alat politik menjatuhkan pasangan calon,
sehingga akan mempengaruhi netralitas Polri dalam penyelenggaraan
pilkada.
Dikutip dari : www.viva.co.id
0 Comments